
loading…
Data survei yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) rentang 2016-2018 menunjukkan secara umum, hakim menilai jaminan dan fasilitas kesehatan mereka kurang memadai (53,76%). Sebanyak 24,73% hakim merasa cukup memadai, 15,05% memadai, 5,91% belum pernah menggunakan, dan 0,54% abstain. Hasil survei ini telah disampaikan KY kepada Mahkamah Agung (MA) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk ditindaklanjuti.
Jaminan atas layanan kesehatan hakim juga amanat dari Undang-undang (UU) Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94/2012 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 74/2016 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah MA. (Baca: MUI Tegaskan Tak Pernah Membuat Maklumat Soal Pembubaran BPIP)
Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar Yanto menyatakan, pemerintah haruskon sisten melakukan optimalisasi atas pemenuhan dan peningkatan jaminan kesejahteraan hakim, termasuk kesehatan. âJadi harus benar-benar dipenuhi. Realisasikanlah undang-undang itu,â ujar Yanto kepada KORAN SINDO .
Baca Juga:
Mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas 1A Khusus ini mengakui untuk layanan BPJS Kesehatan masih ditemukan banyak hakim tidak mendapatkan layanan tersebut. Termasuk dia kini juga tidak memiliki fasilitas layanan BPJS Kesehatan. Dia tidak me miliki layanan BPJS Kesehatan karena pengurusan administrasi hingga penggunaan layanannya berbelit-belit.
Hakim Agung sekaligus Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro mengakui hakikatnya jaminan kesehatan bagi seluruh warga negara, termasuk hakim, ada dalam UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hakim di tingkat pertama maupun tingkat banding pun sudah banyak memiliki BPJS Kesehatan.
Namun, ketika ingin mendapat layanan, mereka kadang terkendala lokasi atau antrean panjang. Di sisi lain, tugas mereka melayani pencari keadilan juga tak henti. âYang sering dikeluhkan oleh para hakim, rumah sakit tidak mau menerima BPJS Kesehatan yang dimiliki oleh hakim yang bersangkutan. Kadang-kadang rumah sakit menolak, kelas ekonomi misalnya,â bebernya. (Baca juga: Kapal Perang Paling Berbahaya Admiral Nakhimov Siap Dimunculkan Lagi)
Atas fakta ini, ketua Kamar Pengawasan MA ini meminta pemerintah bersama BPJS Kesehatan dapat bersikap dan bertindak cepat guna mengatasi kendala-kendala di lapangan. Secara khusus dia menegaskan bahwa berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman jelas sekali disebutkan bahwa hakim pada MA dan badan peradilan di bawahnya merupakan pejabat negara.
Namun, informasi terkait penolakan rumah sakit atas layanan terhadap hakim, menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Maâruf, perlu diperjelas. Menurut Iqbal, harus detail data penolakan layanan apa yang di maksud. Sebab berdasar regulasi, setiap peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), apa pun latar belakang profesinya, berhak memperoleh pelayanan kesehatan. âJika mengalami penolakan, peserta yang bersangkutan dapat melakukan pengaduan kepada petugas BPJS SATU! yang berada di rumah sakit tersebut,â ungkap Iqbal.
Iqbal pun merespons positif survei KY terhadap layanan kesehatan hakim di Indonesia. Survei tersebut diharapkan mampu mendorong berbagai pihak untuk turut berkontribusi aktif dalam menciptakan ekosistem JKN-KIS yang sehat. (Lihat videonya: Pembunuh Keji Satu Keluarga di Sukoharjo Ditangkap)
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN Sarifudin Sudding mengatakan, pemenuhan jaminan kesehatan bagi para hakim merupakan bagian penting dari pemenuhan jaminan kesejahteraan bagi para pengadil yang diamanahkan dalam UU maupun peraturan pemerintah. Para hakim harus dijamin layanan kesehatannya secara baik, jangan sampai disibukkan dengan pengurusan administrasi dan lamanya proses birokrasi.
âJadi pikirannya para hakim itu betul-betul fokus dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, yaitu mengadili dan memutus suatu perkara,â ujar Sudding. Dia lebih condong para hakim itu diberi layanan asuransi karena mereka pejabat negara. (Sabir Laluhu)
(ysw)